Ratusan Petani Tolak Kriminalisasi

Selasa, 29 April 20140 komentar

 Ratusan petani Sumut berunjukrasa menolak kriminalisasi petani Kemenyan di Pandumaan-Sipituhuta. Foto:  Ayat S Karokaro
Ratusan petani aksi protes menolak kriminalisasi yang kerap dialami mereka kala berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah. Satu contoh, penetapan tersangka 12 petani kemenyan, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara (Sumut). Mereka melawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang membabat Hutan Kemenyan, dan protes pemerintah yang memberi izin, tetapi malah menjadi tersangka.
Sekitar 500 an orang ini terdiri dari ibu-ibu dan pemuda, berunjukrasa ke Kantor Gubernur Sumut Jalan Diponegoro Medan, Senin (3/3/14). Mereka mendesak Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, menepati janji menyelesaikan konflik agraria di provinsi ini. Termasuk menekan kepolisian agar membebaskan murni petani dan kelompok masyarakat yang berjuang mempertahankan hutan.
Johan Merdeka, juru bicara petani mengatasnamakan dari Komite Tani Menggugat Sumut, kepada Mongabay mengatakan, ada sejumlah kejanggalan terkait penangkapan masyarakat adat dan petani ini.
Contoh nyata, 12 warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, sempat ditangkap dan masuk penjara meski dilepas. Namun, sudah satu tahun, status mereka, masih tersangka perusakan dan pembakaran kendaraan milik pekerja TPL.”Kuat dugaan, itu sengaja, untuk membungkam mereka yang berjuang mempertahankan hutan adat agar tidak rusak dan dihancurkan TPL. Ini bukan saja dialami di Pandumaan-Sipituhuta, di daerah lain juga banyak, ” katanya.
Selama ini,  petani ditangkap, dikriminalisasi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tanpa ada keadilan. Padahal, yang mereka lakukan, menjaga hutan adat dan lahan peninggalan leluhur tidak rusak.
Catatan Komite Tani Menggugat,  setidaknya ada 850 ribu hektar lebih lahan yang didata, rusak parah dan menjadi lahan konflik dengan petani. Sayangnya, pemerintah di balik pengusaha, seolah membiarkan konflik terus terjadi. Perusahaan yang mendapatkan izin perambahan hutan, dan perkebunan, bebas merebut lahan, merusak hutan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Sedangkan petani yang melawan perusakan hutan dan lahan, malah ditangkap.
“Akal-akalan pemerintah menggunakan tangan penegak hukum, untuk membungkam petani dan masyarakat adat yang melawan.”
Johan menyebutkan, tahun 2013, Presiden SBY, menyatakan, konflik agraria harus dicegah karena bisa memicu konflik sosial. “Ini seharusnya dilaksanakan pemerintah derah dan penegak hukum. Bukan malah berpihak kepada pemodal.”
Tak hanya TPL, PT Bridgestone, telah merebut lahan dan hutan adat seluas 273,91 hektar, yang selama turun temurun dikelola masyarakat adat. Ini terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Di Kabupaten Simalungun, ada sekitar 3.000 hektar dirampas perusahaan pembuat ban mobil ini.
Konflik lahan seluas 20 hektar, antara warga Desa Bulu Duri, Kecamatan Sipispis, dengan PTPN III yang hak guna usaha (HGU) sudah habis, dan petani mencoba mengembalikan lahan menjadi hijau– selama ini menjadi perkebunan sawit.
Masih dengan PTPN III, masyarakat adat di Desa Meria Padang, Kecamatan Tebing Tinggi, mencoba mengembalikan lahan eks PTPN III seluas 115 hektar menjadi hutan buatan, juga mengalami kriminalisasi. Begitu juga warga Desa Paya Bagas, yang mempertahankan tanah adat seluas 82 hektar, lagi-lagi menjadi korban.
 Pemerintah Sumut, dinilai gagal menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi di wilayah ini. Foto: Ayat S Karokaro

Konflik agraria lain juga terjadi dengan kelompok tani Bandar Rejo Bersatu, di Desa Naga Kesiangan, Kecamatan Tebing Tinggi, melawan PTPN IV Pabatu.
Di Desa Penggaian, Kecamatan Tebing Syahbandar, PT Nusa Pusaka Kencana mencoba mengambil dan merusak hutan seluas 286 hektar. Kelompok petani dan masyarakat adat dianiaya, diusir, dan rumah dibakar.
Di Desa Panyamabar, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai, PT PD Paya Pinang, merebut dan merusak lahan dan hutan adat seluas 151 hektar. Konflik dan bentrokan dengan masyarakat adat hingga saat ini masih terjadi.
PT PP London Sumatera (Lonsum), juga melakukan hal sama, dengan merebut dan merusak lahan petani di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rempah, Serdang Bedagai. Disini ada 165 hektar lahan rusak menjadi perkebunan sawit. Di Desa Cina Kasih, Kecamatan Sei Rempah, lahan seluas 953 hektar lahan hutan adat dirusak dan direbut PT Soelong Laoet.
Di Desa Dolok Sagala, Kecamatan Dolok Masihul, laha  adat seluas 994 hektar berkonflik dengan PT Socpindo. Bentrokan dan penganiayaan melibatkan aparat penegak hukum terjadi disini.
“Jadi di Kabupaten Serdang Bedagai, ada 13 konflik agraria dan perusakan hutan melibatkan oknum aparat kepolisian yang membekingi perusahaan.”
Menurut dia, konflik  terjadi, karena pemerintah tidak tegas dan terkesan menutup mata.  Kementerian Kehutanan juga terlibat, karena membiarkan perusahaan terus menebangi dan menghancurkan hutan yang sudah dijaga selama berabad-abad.
Hingga Senin petang, aksi unjukrasa petani ini terus berlangsung. Bahkan mereka memblokir pintu keluar dan masuk rumah dinas Gubernur Sumut. Tampak aparat kepolisian menjaga ketat. Arus lalul intas dialihkan mengantisipasi kemacetan dari aksi ini.
Bagikan Berita Ini :
 
Support : Creating Website