Padang
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) Badan Pertanahan Nasional (BPN), Maharani memperingatkan seluruh kepala kantor pertanahan kabupaten dan kota di Sumbar tidak terseret mark up ganti rugi tanah yang bisa saja dilakukan bupati dan wali kota.
“Kalau itu terjadi, kepala kantor pertanahan harus bersiap-siap masuk penjara bersama bupati dan wali kota,” kata Maharani dalam diskusi masalah tanah ulayat dengan pakar hukum agraria Unand Prof Dr Yulimarwati di aula Kantor BPN Sumbar, Kamis (11/8). Hadir dalam diskusi itu Kakanwil BPN Sumbar Tri Suprijanto dan kepala BPN kabupaten/kota se-Sumbar.
Menurutnya, ganti rugi tanah milik masyarakat baru bisa dibayarkan bila legalitas sudah jelas. “Tanpa adanya legalitas dari kantor pertanahan dan penaksir harga independen, maka pengeluaran uang untuk membayar ganti rugi tidak sah dan tidak mempunyai dasar hukum sama sekali,” jelasnya.
Karena itu, lanjut Maharani, kepala kantor pertanahan jangan tergiur ataupun takut dengan bupati dan wali kota jika yang dilakukannya melawan hukum. “Biarkan saja bupati dan wali kota tersebut marah-marah. Ujung-ujungnya paling melaporkan ke Kakanwil atau ke BPN Pusat. Tidak perlu takut itu, karena pertanahan adalah instansi vertikal, bukan horizontal,” tukasnya.
Kepala Kantor Pertanahan Pasaman, Yulindo mengatakan, kisruh pertanahan yang banyak terjadi antara pengusaha perkebunan dan masyarakat adat, disebabkan ganti rugi tanah hanya dinikmati ninik mamak. Anak kemanakan tidak mendapat bagian. “Sekarang mereka menuntut haknya, bahkan sampai menduduki lahan perkebunan,” ujarnya.
Menurutnya, secara hukum tindakan pengusaha perkebunan sudah benar karena sudah memberikan ganti rugi dan silih jariah. Hanya saja, ada pihak yang terabaikan dan tidak mendapatkan haknya.
“Kami menyarankan pemkab mendorong investor berhadapan langsung dengan yang punya tanah. Buat lagi perjanjian dengan masyarakat,” ujarnya.